Harga Diri Seorang Gelandangan

28 10 2008

Seorang warga dari negara bagian Illinois, Amerika Serikat yang dikarenakan menganggur lalu jatuh miskin dan melarat. Ia hidupnya menggelandang. Suatu hari, dengan tertatih-tatih masuk ke sebuah halaman rumah mewah. Dan bisa ditebak, itu adalah sebuah keluarga yang kaya raya. Tuan rumah sedang berbaring di sebuah kursi goyang berjemur matahari. “Tuan, apakah ada pekerjaan yang dapat kukerjakan untuk Anda ?. Saya sudah cukup lama tidak makan”. Si tuan rumah melirikkan mata dan menggeserkan tubuhnya. Dengan mimik dipenuhi rasa muak berkata, “Tidak ada, tidak ada!”. Dan begitu berpaling, berteriak “John, cepat bawa sisa nasi kemari, usir orang memuakkan ini!”.

Sebelum tuan rumah selesai bicara, gelandangan itu segera berbalik arah, dan dengan langkah gontai meninggalkan halaman rumah itu. Namun, ia benar-benar sudah terlampau lelah. Setelah berjalan cukup lama tanpa henti, mau tidak mau berhenti dan istirahat sejenak. Kota itu sudah hampir sampai, di tempat yang tidak jauh darinya adalah sebuah rumah terakhir. “Pergi, atau tidak ?”, Ia merasa ragu. Seporsi sisa nasi dingin ditukar dengan harga diri, lebih baik pergi saja, meskipun harus mati”. Beberapa saat kemudian, ia berdiri, lebih baik pergi lagi mengadu nasib, belum tentu manusia di dunia semuanya seperti itu.


Ia kembali ragu-ragu dan merasa bimbang, ah lebih baik memberanikan diri untuk terakhir kalinya, dan ia pun masuk. Tuan rumah kebetulan sedang memotong rumput di halaman, adalah seorang wanita. Ia tidak begitu berani untuk masuk dan dengan cermat menduga-duga si tuan rumah. “Maaf, numpang tanya, apakah ada pekerjaan yang bisa kukerjakan untuk Anda ?. Saya sudah lama tidak bekerja”. Tuan rumah berpaling dan menaksir-naksir gelandangan yang kelelahan dihadapannya. Ia memandangnya dengan sangat seksama. Ia mengangkat kepalanya, namun tidak berani langsung menghadapnya.

Satu menit, dua menit, tuan rumah tidak bicara. Dan ia menanti untuk ditolak, “Jika ia berteriak memanggil John, maka saya pikir, ya sudahlah, lebih baik pergi saja.” “Oh, ada. Wah, di tempat saya ini banyak sekali kerjaan yang perlu kamu kerjakan” demikian ujar si empunya. Suaranya sangat ramah. Dan kepalanya yang diangkat menunduk dengan sendirinya. “Tetapi, tampaknya kamu sudah sangat lelah, istirahat dulu sejenak, dan setelah makan baru mulai bekerja”.

Ia benar-benar sudah sangat lelah, lagi pula sangat lapar, dan benar-benar berharap bisa makan sekali dengan nikmat sepuasnya, kemudian tidur lelap sejenak. “Akan tetapi tidak, biarlah saya selesai kerja dulu” katanya dengan suara keras, ia nyaris berteriak dengan sekuat tenaga. Si empunya wanita merasa ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia menunjuk “Baiklah, tolong kamu bantu memindahkan kayu-kayu bakar ini ke sudut tembok barat sana, sebenarnya sejak tadi saya ingin memindahkannya, tetapi terlalu berat, dan dengan adanya Anda sekarang, benar-benar lega rasanya. Saya pergi dulu menyiapkan beberapa makanan untuk Anda”.

Ia langsung bekerja begitu disuruh, dan si gelandangan tiba-tiba merasa seluruh badannya dipenuhi dengan semangat kerja yang belum pernah ada sebelumnya, dan ia segera mulai bekerja memindahkan kayu-kayu bakar itu. Sebenarnya tumpukan kayu-kayu bakar itu tidak banyak, dan sebatang kayu bakar terakhir juga telah dipindahkan ke sudut tembok itu, begitu rapi dan lega. Dan masakan tuan rumah juga telah disiapkan, sesepoi-sepoi aroma harum yang menusuk hidung terbang keluar, dan memenuhi segenap halaman rumah.

Dan ini adalah makanan yang paling nikmat, yang pertama kali dimakan si gelandangan. Ia merasa, ketika dirinya sangat kaya juga belum pernah makan dengan senikmat ini. Si tuan rumah menemaninya makan bersama, makannya sangat sedikit, namun ekspresi keramah-tamahan dan kasih sayang di segenap wajahnya bagaikan bunda suci. Akhirnya selesai makan. Ia lalu berhenti sebentar, menyapu sekali lagi tempat tumpukan kayu bakar tadi, dan bermain-main sejenak dengan bocah sang tuan rumah, kemudian ia memulai perjalanannya setelah mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah.

Setelah gelandangan pergi, tiba-tiba anak si tuan rumah mengajukan sebuah pertanyaan, “Mama, kayu bakar itu dipindahkan dari timur ke barat, kemudian dari barat dipindahkan lagi ke timur, sudah beberapa puluhan kali. Mengapa setiap kali orang yang meminta-minta datang kemari, mama selalu menyuruhnya memindahkan ke sana kemari ?. Beberapa hari yang lalu, bukankah baru saja ada orang memindahkan kayu bakar dari tembok barat dan memindahkannya kemari ?”. “Mereka sendiri bukankah ingin bekerja ?, Mama sendiri juga tidak ada pekerjaan lain yang dapat mereka kerjakan,” demikian ujar mamanya malah balik bertanya.

“Akan tetapi, kan kayu-kayu bakar itu sama sekali tidak perlu dipindah. Jika tidak ada pekerjaan untuk mereka kerjakan, bukankah mama bisa langsung memberikan makanan untuk mereka ?” si anak tetap saja tidak paham. “Tidak nak, kamu sekarang masih belum paham, kamu tidak boleh menyuruh siapa pun juga menggunakan harga dirinya untuk menukarnya dengan sepiring nasi, biarkan mereka menukarnya dengan tenaganya untuk bekerja, dan itu sudah cukup. Dan mulai sekarang kamu akan memahaminya”. Si anak kelihatannya mengerti meskipun tidak paham, mengangguk-anggukkan kepalanya.


Aksi

Information

Tinggalkan komentar